Langsung ke konten utama

Ajengan Nuh Karang Kitab Sunda

Ajengan Nuh Karang Kitab Sunda

Dari tangan Ajengan KH Muhammad Nuh Ad-Dawami Garut, Jawa Barat, mengalir puluhan karya tulis. Umumnya menggunakan bahasa Sunda, tapi ada juga yang berbahasa Arab dan Indonesia. 

Penggunaan abjadnya ada yang berhuruf Latin, umumnya Arab Pegon. Sementara bentuk penulisannya, ada yang naratif, juga nadzom. Secara umum, karya-karya itu bernuansa tasawuf dan tauhid, di samping beberapa kitab fiqih. 

Menurut puteri ketiga Ajengan Nuh, Ai Sadidah, ada sekitar 50 buah. “Setiap bulan puasa, pasti melahirkan karya tulis. Dan kitab itulah yang akan dikaji selama sebulan,” katanya di kediaman Ajengan Nuh, Garut, Senin (11/2) lalu.

Uniknya, karya-karya pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Cisurupan Garut terus itu masih ditulis tangan.

Menurut putera keempat, Ajengan Cecep Jaya Krama, karya-karya ayahnya pernah diketik menggunakan komputer, tapi ketika diperiksa lagi, ada beberapa yang salah dalam penulisan. “Sejak itu, Abah (panggilan akrab putera-puteri Ajengan Nuh) kirang percanten (tidak percaya orang lain) menuliskan karyanya,” katanya.  

Sementara Ajengan Nuh yang aktif di NU sejak Ranting, MWC, PC, hingga salah seorang Mustasyar PWNU Jawa Barat ini, tidak bisa mengetik. Karenanya ia lebih nyaman dengan tulisan tangan sendiri. 

Cecep menjelaskan alasan menggunakan bahasa Sunda adalah untuk mempermudah pemahaman santri. Juga melestarikan bahasa Sunda, karena sudah dianggap asing di tanahnya sendiri. Di samping memberikan pelajaran penggunaan bahasa Sunda yang baik dan benar sesuai kaidah bahasa.

Jika ditilik dari gaya bahasanya, Ajengan Nuh, menggunakan bahasa yang puitik. “Itu memang kelebihan Abah. Ia rajin membaca majalah Mangle (salah satu majalah bahasa Sunda).


Ajengan KH Muhammad Nuh Ad-Dawami lahir Garut, Jawa Barat tahun 1946. Sejak usia 12 tahun, ia nyantri ke berbagai pesantren, mulai Pesantren Kubang, Munjul, Al-Huda (Garut), Cikalama (Sumedang), Sadang (Garut), Cibeureum (Tasikmalaya), 

Menurut putra keempat, Ajengan Cecep Jaya Krama, ayahnya nyantri paling lama di Al-Huda, dibawah bimibingan Ajengan KH Syirojuddin. Sebelum mukim (1968), ia kembali nyantri di pesantren tersebut.

Ajengan Nuh, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Cisurupan Garut tersebut, melahirkan puluhan karya tulis. Umumnya menggunakan bahasa Sunda, tapi ada juga yang berbahasa Arab dan Indonesia. 

Ia menulis sejak tahun 1990-an, seperti tukilan Ilmu Bayan, Ilmu Ushul Fiqh, Bab Tarawih, Bab Syahadat. “Tapi, secara serius dalam satu buku seperti Bentang Salapan(menjelaskan persoalan yang sering diperdebatkan antara NU dan non-NU) sejak tahun 2000,” kata Ajengan Cecep, di Cisurupan, Garut, Selasa, (12/2).

Asal mula menulis, karena ada salah seorang temannya yang menganjurkan, yaitu Enas Mabarti. Enas  adalah penulis juga tokoh NU Garut yang menulis Pedoman Politik Keur Warga NU dan Rencep Sidem Gunem. 

Enas tertarik akan pidato-pidato bernas yang disampaikan Ajengan Nuh di pertemuan-pertemuan NU Garut. Ia sampai mau menggaji orang untuk menuliskan ceramah-ceramahnya. Tapi sayangnya tidak jalan. 

Meski demikian, Ajengan mulai juga menulis. Menurut puteri ketiga Ajengan Nuh, Ai Sadidah, ada sekitar 50 buah. “Setiap bulan puasa, pasti melahirkan karya tulis. Dan kitab itulah yang akan dikaji selama sebulan,” katanya.



Di antara karya yang diperlihatkan kepada NU Online adalah Mustika Akidah: Widuri Pamanggih, Tauhid Praktis ala Thariqah Ahli Sunah wal-Jamaah, Peperenian Lentera Cacaang Jalan Ambahan Kabagjaan Jalma Awam, Taraweh Qiyam Ramadhan, Tutungkusan Permata, Tauhid Amaly Ahlu Sunah wal-Jamaah, Hizb Tafrij Kurab Qodhai Hajati (Senjata Panyinglar Kasusah Nutupan Pangabutuh, Al-Mukhtashar fi Tauhidy wa-Ta’biruhu bil-Adzkari, Karakteristik Ahl Sunah wal-Jamaah, al-Muhtaj Ilaih.

Uniknya, karya-karya Ajengan Nuh yang aktif di NU sejak Ranting, MWC, PC, hingga salah seorang Mustasyar PWNU Jawa Barat itu, masih ditulis tangan.(Abdullah Alawi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mbah Salman, Mursyid Bersahaja nan Kharismatik Wafat

Duka masih menggelayuti lingkungan Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo Wonosari Klaten. Pengasuh pesantren tersebut, KH M Salman Dahlawi wafat, Selasa (27/8) pukul 17.45 WIB, dalam usia 78 tahun. Kepergiannya membawa duka yang mendalam bagi banyak pihak, khususnya bagi kalangan Jam’iyyah Thariqah Mbah Salman, begitu dia biasa dipanggil oleh para santrinya, merupakan mursyid Thariqah Naqsabandiyyah-Khalidiyyah. Saat ini, dia juga tercatat menjadi anggota Majelis Ifta’ (Majelis Fatwa) di Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN). Selama hidup beliau juga pernah menjabat sebagai Mustasyar di Nahdlatul Ulama (NU).