Langsung ke konten utama

Halaqah Nasional Kiai Muda Pesantren Digelar di Jogja

Yogyakarta, NU Online
The Wahid Institute (TWI) menggelar halaqah nasional bertajuk “Kiai dan Tokoh Muda Pesantren: Penguatan Kurikulum dan Perangkat Pengajaran Pesatren Berbasis Islam Damai”. Kegiatan Diadakan digelar di Yogyakarta Kamis-Ahad (12 -15/12).


Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan pengalaman-pengalaman pesantren dalam pendidikan prinsip-prinsip toleransi dan perdamaian; merumuskan desain kurikulum dan perangkat pengajaran pesantren yang berspektif perdamaian; dan merumuskan strategi-strategi pelembagaan kurikulum pendidikan berperspektif perdamaian.

Kegiatan diikuti 35 orang kiai dan santri NU di delapan Provinsi di Indoensia; sejumlah narasumber ahli dan praktisi antara lain Abdurrahman Mas'ud (Kementerian Agama) Listia (aktifis pendidikan), Rumadi (peneliti the Wahid Institute dan pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Alissa Wahid (Seknas Jaringan Gusdurian), Suhadi Kholil (CRCS UGM), Agus H Nahrowi (SFCG), Mustofa (Pesantren Annuqoyah), Nurul Huda Maarif (Qathratul Falah).

“Dengan adanya halaqah ini diharapkan semua mau berniat menata dan mencari solusi masalah sosial. Dengan berbasis pada toleransi dan pesan perdamaian dalam Islam,” papar Direktur TWI pada Jum’at (13/12) pagi.

Di hari pertama halaqah ini, lebih menekankan pada upaya memperkuat dan meneguhkan kembali prinsip-prinsip Aswaja (Tasamuh, Tawasuth, Tawazun, Ta’addud, dan Ta’adul) ke dalam perangkat pengajaran dan kurikulum pesantren. Ini berarti juga berarti mengawal peran pesantren sebagai penopang pilar-pilar kebangsaan dan kebhinnekaan di Indonesia, termasuk di dalamnya kebebasan beragama  yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Dikatakan Yenny, pesantren merupakan lembaga pendidikan nonformal yang secara histori sudah berdiri sejak ratusan tahun silam. Pesantren memiliki peran multifungsi dalam upaya membentuk peradaban nusantara. Bahkan, menurut KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pesantren merupakan subkultur dari bangsa Indonesia.

Namun, akhir-akhir ini pesantren mendapatkan sorotan publik dan tantangan global. Di mana banyak terjadi kekerasan dengan embel-embel agama itu ada yang lahir dari alumni-alumni pesantren (santri). Tumbuhnya beberapa pesantren yang menyebarkan pemahaman Islam radikal. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi pesantren-pesantren tradisional. (Muyassaroh/Suhendra/Anam)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ajengan Nuh Karang Kitab Sunda

Sumber: http://www.nu.or.id Ajengan Nuh Karang Kitab Sunda Dari tangan Ajengan KH Muhammad Nuh Ad-Dawami Garut, Jawa Barat, mengalir puluhan karya tulis. Umumnya menggunakan bahasa Sunda, tapi ada juga yang berbahasa Arab dan Indonesia.  Penggunaan abjadnya ada yang berhuruf Latin, umumnya Arab Pegon. Sementara bentuk penulisannya, ada yang naratif, juga nadzom. Secara umum, karya-karya itu bernuansa tasawuf dan tauhid, di samping beberapa kitab fiqih.  Menurut puteri ketiga Ajengan Nuh, Ai Sadidah, ada sekitar 50 buah. “Setiap bulan puasa, pasti melahirkan karya tulis. Dan kitab itulah yang akan dikaji selama sebulan,” katanya di kediaman Ajengan Nuh, Garut, Senin (11/2) lalu. Uniknya, karya-karya pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Cisurupan Garut terus itu masih ditulis tangan.

Mbah Salman, Mursyid Bersahaja nan Kharismatik Wafat

Duka masih menggelayuti lingkungan Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo Wonosari Klaten. Pengasuh pesantren tersebut, KH M Salman Dahlawi wafat, Selasa (27/8) pukul 17.45 WIB, dalam usia 78 tahun. Kepergiannya membawa duka yang mendalam bagi banyak pihak, khususnya bagi kalangan Jam’iyyah Thariqah Mbah Salman, begitu dia biasa dipanggil oleh para santrinya, merupakan mursyid Thariqah Naqsabandiyyah-Khalidiyyah. Saat ini, dia juga tercatat menjadi anggota Majelis Ifta’ (Majelis Fatwa) di Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN). Selama hidup beliau juga pernah menjabat sebagai Mustasyar di Nahdlatul Ulama (NU).

Kirab Budaya Cap Go Meh Bogor 2013